Total Pageviews

Monday 3 June 2013

SINOPSIS : Pudarnya Pesona Cleopatra

Judul : Pudarnya Pesona Cleopatra
Penulis : Habiburrahman El Shirazy
“Pudarnya Pesona Cleopatra” menceritakan tentang kisah seortang anak laki-laki yang dijodohkan oleh ibunya. Dia dijodohkan dengan anak perempuan sahabat ibunya yang bernama Raihana. Dia adalah lulusan Mesir, sedang Raihana adalah lulusan terbaik di kampus dalam negeri dan hafal Al Qur’an. Awalnya dia menolak untuk dijodohkan, namun karena ibunda tercintanya dan karena ia ingin mendapat pahala dari pengorbanannya membahagiakan ibunya, akhirnya ia mau dijodohkan.

Mungkin karena ia terlalu sering hidup di Mesir, ia sudah terpikat akan kecantikan gadis-gadis Mesir yang dianggapnya titisan Cleopatra. Dia kecewa karena ternyata Raihana, tak seperti yang diharapkannya. Dia berwajah babyface dan anggun. Namun tak seperti yang diharap dan tetap tak ada cinta di hatinya.

Beberapa hari sebelum pernikahannya ia berusaha untuk menumbuhkan rasa cinta untuk Raihana. Namun, rasa cinta itu tetap tak datang jua. Hingga hari pernikahannya itu terjadi, tetap tak ada cinta. Pernikahan berlangsung dengan sangat meriah, wajah Raihana begitu berseri-seri, namun tak begitu dengannya. Jika bukan ibunya yang meminta, ia tak kan pernah menikah dengan Raihana.

Layaknya pengantin baru, ia berusaha untuk mesra tapi bukan cinta. Ia berpura-pura bahagia, Hanya karena ia sering membaca ayat-ayatNya saja. Hanya berkah dari Allah yang diharapnya atas baktinya terhadap ibunya. Dua bulan setelah pernikahan, ia membawa istrinya, Raihana ke rumah kontrakannya di Malang.

Hari demi hari ia lewati bersama dengan orang yang samasekali tak dicintainya. Pikirannya masih juga terhipnotis oleh kecantikan aura gadis-gadis Mesir. Itu membuatnya semakin merasa meneyesal menikahi Raihana. Hingga pada suatu hari Raihana merasa agak terganggu oleh perilaku suaminya tersebut. Lalu Raihana menanyakan mengapa suaminya tercinta, tempatnya mencari ridho Allah begitu bersikap dingin dengannya. Tidur pun ia lebih sering di ruang tamu atau di ruang kerjanya, dibandinng dengan istrinya. Dia menjelaskan bahwa tidak ada yang perlu dipermasalahkan, namun ia menyebut istrinya itu dengan sebutan ”mbak”. Betapa hancur hati Raihana. Sampai-sampai Raihana memeluk kakinya, memohon kasihsayang kepadanya.

Setahun sudah usia pernikahannya. Ia tetap tidak bisa melupakan kecantikan titisan Cleopatra, dan ia belum bisa mencintai istri yang begitu mengabdi kepadanya, yang begitu perhatian kepadanya, yang selalu mengingatkannya untuk sholat, yang selalu merawatnya dikala sakit. Pada suatu hari mereka diundang ke sebuah pernikahan salah satu saudara dekatnya. Saat memberi tahukan berita tersebut Raihana begitu senang karena suami tercintanya memanggilnya dengan panggilan ”dinda”. Raihana sekarang sudah merasa dianggap sebagai seorang istri. Meskipun sebenarnya, dia hanya merasa sedikit keterlaluan dengan sikapnya yang acuh tak acuh pada istrinya selama ini.

Mereka berdua datang ke acara pernikahan itu. Mereka di sambut dengan penuh suka-cita. Di sana mereka begitu dielu-elukan. Mereka dianggap sebagai pasangan ideal, namun dia sedikit illfeel dengan anggapan tersebut. Semua sanak saudara ada di sana, termasuk ibu dan mertuanya. Yang tak disangka olehnya, ibunda tercintanya yang membuat ia menikahi Raihana mengutarakan keinginannya untuk segera memiliki seorang cucu dari mereka. Raihana sangat senang. Tapi suaminya, sangat kacau.

Setelah peristiwa yang membuat dia kaget, dia mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana. Dia berpura-pura kembali mesra dengan Raihana, sebagai suami betulan. Beberapa bulan kemudian Raihana hamil. Wajahnya bertambah manis. Tetapi tetap belum ada cinta di hati dia.

Keluarga bersuka cita semua. Namun hati dia menangis karena cinta tak kunjung tiba. Dia terus saja berharap dan berdoa kapada Allah agar cinta itu segera hadir.

Sejak itu dia semakin sedih sehingga Raihana yang sedang hamil tidak dia perhatikan lagi. Setiap saat nurani dia menenyakan diamana tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Dia hanya diam dan mendesah sedih.

Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan ke enam. Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orangtuanya dengan alasan kesehatan. Dia mengabulkan permintaan Raihana dan dia mengantarkan Raihana kerumahnya. Karena rumah mertuanya jauh dari kampus tempat dia mengajar, mertua dia tak menaruh curiga ketika dia harus tetap tinggal dikontrakan. Ketika dia pamitan, Raihana berpesan pada dia untuk mencairkan tabungan Raihana yang buku tabungannya di letakkan di bawah bantal dan nomer pinnya adalah tanggal pernikahan mereka untuk menambah biaya persalinan.

Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, dia merasa sedikit lega. Setiap hari dia tidak bertemu dengan orang yang membuat dia tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa demikian. Hanya saja dia merasa sedikit repot, harus menyiapkan semua kebutuhannya. Tetapi itu bukan menjadi masalah besar baginya karena dia sudah punya pengalaman hidup sendiri saat kuliah di Mesir dulu.

Waktu terus berjalan, dan dia merasa nyaman tanpa Raihana. Suatu saat dia pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, dia merasa tubuhnya benar-benar lemas. Dia muntah-muntah, menggigil, kepalanya pusing dan perutnya mual. Saat itu terlintas dihatinya andaikan ada Raihana, pasti ada yang telah menyiapkannya air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk angin dengan mengeroki punggungnya, lalu menyuruhnya istirahat dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Malam itu dia benar-benar tersiksa dan menderita. Dia terbangun jam enam pagi. Badannya sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hatinya, dia belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu dia tak meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat sholat subuh.

Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatannya mengajar di kampus. Apalagi dia mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa arab. Diantaranya tutornya adalah professor bahasa arab dari Mesir. Dia jadi banyak berbincang dengan professor itu tentang Mesir. Dalam pelatihan dia juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa arab dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Pak Qalyubi menceritakan satu pengalaman hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani. Dia sangat mersa senang dan antusias sekali mendengar cerita yang akan diceritakan oleh orang yang sangat dihomatinya itu. Pak Qalyubi memulai ceritanya dengan melontarkan satu pertanyaan yang membuatnya, mengingat kembali istri yang hampir dilupakannya itu. Pak Qalyubi bertanya, apakah dia sudah memiliki istri. Lalu bertanya lagi, apakah istrinya itu orang Indonesia atau orang Mesir. Dia menjawab apa adanya. Pak Qalyubi pun mulai menceritakan kisah hidupnya yang panjang dan memilukan.

Dulunya ia pernah mengenyam bangku kuliah di Mesir. Dulu ia juga sangat mengagumi dan memuja-muja gadis-gadis Mesir. Dan pada suatu hari ia dikenalkan dengan seorang gadis Mesir yang tidak lain adalah anak dari pemilik kos-kosan yang ia tinggali. Tak lama setelah itu, bunga-bunga cinta mulai menghiasi hubungan mereka. Teman-teman sesama Indonesia yang mengekos di tempat yang sama dengannya memperingatinya tentang kebusukan hati gadis titisan Cleopatra itu, namun karena sedang dilanda asmara ia sama sekali tak menghiraukan nasehat teman-temannya. Ia menganggap teman-temannya itu hanya iri melihat keberhasilannya mendapatkan cinta seorang gadis yang ayunya bukan kepalang. Setelah lulus, dinikahi dan dibawanya wanita Mesir itu ke Indonesia. Awalnya, kehidupan dirasa sangat bahagia dan meyenangkan dengan seorang istri yang cantik. Namun, lambat laun tingkah laku istrinya itu membuatnya sedikit pusing. Keinginannya membeli barang-barang mahal membuat Profesor itu kualahan. Istrinya selalu meminta uang yang banyak, tetapi hanya untuk berfoya-foya tanpa menghiraukan keringat sang suami yang mencari nafkah. Hingga pada suatu hari, di saat Pak Qalyubi sedang dilanda krisis ekonomi, dia tak mampu lagi memenuhi segala keinginan istrinya. Tak diduga, istrinya pergi tanpa izinnya sambil membawa ketiga anaknya ke Mesir. Pak Qalyubi tak mampu berbuat apa-apa, mengingat kondisi keuangannya yang sedang acak kadut. Beberapa minggu setelah itu, dia mendapat surat dari Mesir. Sungguh terkejut hatinya, ketika yang didapati adalah surat cerai dari istrinya. Tak ada harapan lagi untuk bertemu wanita Mesir yang rupawan itu. Tak ada lagi kesempatan untuk bercengkrama dengan anak-anaknya. Sesal tak menjadi obat segala khilafnya. Dia hanya bisa termangu, meratapi nasib malangnya.

Mendengar cerita Pak Qalyubi, hatinya tersentuh. Terlintas dibenaknya, istri yang sedang hamil tua, yang baik, perhatian, ramah, patuh, mengandung darah daging buah cintanya. Dengan sigap tiba-tiba ia pamit dan cepat-cepat pulang ke rumah kontrakannya.

Kemudian ia mengambil buku tabungan istrinya dan mengambil uangnya di bank. Dengan uang itu-dan sedikit tambahan darinya- ia membeli segala perlengkapan melahirkan dan perlengkapan bayi. Saat itu adalah saat dimana ia baru menyadari betapa ia beruntung mendapat seorang istri yang shalehah. Dengan hati berbungan-bunga kemudian ia mendatangi rumah mertuanya yang menjadi tempat tinggal sementara istrinya selagi ditinggal seminar.

Namun, tak disangka dan tak dinyana olehnya. Yang didapati saat itu adalah berita duka, kematian istrinya. Hatinya begitu sakit. Telinganya seakan menolak dan tak percaya. Lalu mertua yang tahu perasaannya itu meminta maaf padanya karena tidak memberi kabar apapun tentang kematian dan penyebab istrinya yang meninggal 3 hari lalu. Sebelum meninggal istrinya, berpesan terhadap ibunya untuk tidak memberi tahu tentang sakitnya, karena ia tidak mau mengganggu sang suami yang sedang mengikuti penataran penting di tempat mengajarnya.

Dengan hati hancur dan penuh penyesalan, dia dengan diantar mertuanya mendatangi makam sang istri. Di sana mereka berdoa bersama. Semoga arwahnya dapat diterima di sisi-Nya. Amin. 
 

No comments:

Post a Comment