Total Pageviews

Thursday 11 July 2013

Sujud Tilawah (Sajadah)

Sujud Sajadah atau Sujud Tilawah ialah sujud yg dilakukan apabila kita membaca ayat-ayat sajadah di dalam al-Quran. Ayat-ayat tersebut seperti ini:

"Sesungguhnya orang yang benar-benar percaya kepada ayat-ayat Kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu mereka segera bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong."
[Surah 32: as-Sajdah, Ayat 15]
Daripada Abu Hurairah katanya, Rasulullah SAW bersabda: “Apabila anak Adam membaca ayat Sajadah, lalu ia sujud; maka syaitan jatuh sambil menangis. Katanya, “Celaka aku! Anak Adam disuruh sujud, maka dia sujud, lalu mendapat syurga. Aku disuruh sujud, tetapi aku menolak, maka untukku neraka.”   (HR Bukhari dan Muslim.)
.
Hukum Sujud Sajadah adalah sunat mu’akad, atau sunat yang amat dikuatkan.
Dari Umar r.a; Pada suatu hari Jumaat, Rasulullah SAW membaca surah al-Nahl di atas mimbar, maka ketika sampai pada ayat sajadah, Baginda lalu turun dan sujud. Dan para hadirin juga turut melakukan sujud. Pada Jumaat berikutnya, dibacanya surah berkenaan, lalu apabila sampai pada ayat sajdah Baginda SAW bersabda: “Wahai manusia, sebenarnya kita tidak diperintahkan (diwajibkan) sujud tilawah. Tetapi sesiapa bersujud, dia telah melakukan yang benar. Dan sesiapa yang tidak melakukannya, maka dia tidak mendapat dosa.” (HR Bukhari)

Ayat-ayat Sajadah

Di dalam Al-Quran terdapat 15 ayat-ayat sujud sajadah yaitu:
1. Surah 7 (Al-A’Raaf) Ayat 206
2. Surah 13 (Ar-Ra’d) Ayat 15
3. Surah 16 (Al-Nahl) Ayat 50
4. Surah 17 (Al-Isra’) Ayat 109
5. Surah 19 (Maryam) Ayat 58
6. Surah 22 (Al-Hajj) Ayat 18
7. Surah 22 (Al-Hajj) Ayat 77
8. Surah 25 (Al-Furqaan) Ayat 60
9. Surah 27 (An Naml) Ayat 26
10. Surah 32 (As-Sajdah) Ayat 15
11. Surah 38 (Shaad) Ayat 24
12. Surah 41 (Fushshilat) Ayat 38
13. Surah 53 (An-Najm) Ayat 62
14. Surah 84 (Al-Insyiqaq) Ayat 21
15. Surah 96 (Al-’Alaq) Ayat 19

Bacaan Sujud Tilawah (Sajadah).

Dalam Sujud Tilawah dianjurkan membaca:
Sa-ja-da  waj-Hi-ya  lil-la-dziy  kho-la-qo-hu  wa-shaw-wa-ra-Hu  wa-syaq-qo  sam-’a-Hu  wa-ba-sho-ro-Hu  bi-hau-li-hi  wa-quw-wa-ti-Hi  fa-ta-baa-ro-kaL  Laa-Hu  ah-san-ul  khoo-li-qiyn .
“Aku bersujud kepada Allah yang menjadikanku, memberikan pendengaranku dan penglihatanku dengan Kekuasaan-Nya dan Kudrat-Nya. Maka Maha Suci Allah, Dialah sebaik-baik pencipta kejadian.”

Dua Jenis Sujud Tilwah

1.   Dalam Solat
Pada kebiasaanya, para imam di masjid akan memberitahu para jemaah jika beliau akan membaca ayat tilawah dan akan dilakukan sujud sajadah pada rakaat sekian sekian. Maksudnya, apabila pada rakaat yg disbut, apabila imam menyebut takbir, akan terus sujud kerana telah membaca ayat sajadah. 
Selepas sujud tersebut, kita akan terus bangun semula dan sambung membaca ayat al-Quran dan teruskan dengan rukuk seperti biasa
2.   Di Luar Solat
Sujud Tilawah sunat dilakukan di luar solat iaitu setelah selesai menghabiskan bacaan ayat sajdah atau mendengarnya, jika hendak melakukan sujud tilawah hendaklah berniat sujud tilawah kemudian bertakbir iftitah seperti takbiratul ihram dalam solat.
.
Berniat dalam hati, di samping itu disunatkan juga melafazkan niatnya :
 “Daku melakukan Sujud Tilawah kerana Allah Ta‘ala”
.
  1. Ketika membaca Al-Quran dan apabila bertemu ‘tanda sujud’, maka hendaklah bertakbiratul-ihram sambil berniat ‘Sujud Tilawah’ untuk melakukan sujud tanpa mengangkat tangannya.
  2. Takbir iftitah hukumnya adalah wajib kerana ia adalah merupakan syarat sujud tilawah.
  3. Tidak perlu berdiri atau membaca Fatihah dan rukuk. Terus saja bersujud dan membaca ‘Tasbih Tilawah’.
  4. Adalah sunat memanjangkan bacaan takbir yang kedua ketika hendak sujud sehingga diletakkan dahi ke tempat sujud.
  5. Begitu juga bagi takbir yang ke tiga ketika bangkit dari sujud sehingga duduk semula. kemudian kembali duduk dan memberi salam.
  6. Perlu diingat bahawa untuk melakukan sujud tilawah di luar solat ini tidak disunatkan bangun dari duduk untuk berdiri (qiam) kemudian melaksanakan sujud, bahkan memadailah hanya dalam keadaan duduk. Sementara itu jika dia dalam keadaan berdiri maka dilakukan takbiratul ihram dalam keadaan berdirinya itu kemudian membaca takbir dan sujud. (At-Tibyan Fi Adab Hamalatil Quran 118)
  7. Jika tidak bersujud, kerana tidak memenuhi syarat atau berhalangan, maka sebagai gantinya bacalah ayat:
   
Sub-haa-naL-Lah  wal-ham-du-lil-lah  wa-laa  i-laa-ha  il-laL-Laa-hu  waL-La-hu  ak-bar,  wa-laa  haw-la  wa-laa  quu-wa-ta  il-laa  biL-Laa-hil   ‘A-liy-yil  ‘A-ziym.
Maha Suci Allah dan segala pujian bagi Allah, Tiada Tuhan melainkan Allah, Allah Maha Besar; Tiada suatu daya dan kekuatan melainkan dengan Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.
.

Syarat Sujud Tilawah

      1. Suci badan, pakaian dan tempat sujud.
      2. Menutup aurat.
      3. Menghadap kiblat.
      4. Sujud setelah selesai membaca ayat Sajadah.
      5. Dalam solat berjamaah, makmum wajib mengikuti Imam bersujud Tilawah. Gugur keahlian solat berjamaah, jika tidak ikut bersujud.

Bahaya Tidur Setelah Sahur

Tidur setelah sahur memang tidak haram. Namun, dari sisi ilmu gizi dan kesehatan tidur setelah makan sangat tidak dianjurkan bahkan dalam kategori dilarang karena dampak buruknya sangat banyak.
Pramono, ahli gizi dari Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin dalam tulisannya kepada Tribunnews.com mengatakan dampaknya antara lain perut akan jadi buncit karena saat tidur tubuh jadi hemat energi dan secara otomatis lemak akan mudah tertimbun di perut kita.
Juga akan terjadi refluks, karena makanan belum dicerna maka bisa berbalik dari lambung ke kerongkongan (atau biasa disebut refluks) karena pengaruh gravitasi akibat kita tidur.
"Jika terjadi refluks maka asam lambung akan naik dan melukai kerongkongan. Karena mengalami luka, kerongkongan akan terasa panas seperti terbakar, dan mulut pun terasa pahit," tulis Pramono.
Normalnya isi lambung/maag akan kosong kembali sekitar dua jam setelah kita makan, tapi kalau posisi tubuh kita berada pada posisi baring, maka proses pengosongan lambung/maag akan terhambat/terlambat. Hal ini akan mengakibatkan timbulnya gangguan pencernaan seperti mencret atau sembelit tergantung bahan makanan yang kita makan.
Meningkatnya resiko terkena stroke juga bisa saja terjadi kalau kita tidur setelah sahur. Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa orang yang memiliki jeda paling lama antara makan dan tidur mempunyai risiko terendah untuk mengalami stroke.
Jika seandainya kita masih ingin tidur setelah makan sahur atur saja minimal 2 jam setelah makan sahur baru tidur.
Tak heran jika  banyak ulama berpendapat bahwa tidur setelah makan sahur sebaiknya tidak di lakukan .
Nabi Muhammad SAW telah memberika tuntunan bahwa makan sahur jangan ditinggalkan dan dianjurkan untuk diakhirkan waktunya jadi sampai menjelang subuh atau waktu imsyak sehingga secara logika maka setelah sahur maka langsung dilanjutkan ibadah Sholat Subuh dan jika setelah sholat subuh dilanjutkan dengan wirid yang cukup panjang maka matahari telah terbit dan sudah waktunya untuk bekerja.
Rasulullah SAW tidak langsung tidur setelah makan. Beliau beraktivitas terlebih dahulu supaya makanan yang dikonsumsi masuk lambung dengan cepat dan baik sehingga mudah dicerna.
Caranya bisa juga dengan shalat. Rasulullah SAW bersabda,"Cairkan makanan kalian dengan berdzikir kepada Allah SWT dan shalat, serta janganlah kalian langsung tidur setelah makan, karena dapat membuat hati kalian menjadi keras."(HR Abu Nu'aim dari Aisyah r.a.).
Nah, masih nekad tidur setelah sahur?

Sumber Referensi :Tribunnews.com

Monday 8 July 2013

Menentukan awal dan akhir ramadhan berdasarkan Ru'yatul Hilal

Cara menentukan awal dan akhir Ramadhan sudah digariskan oleh Islam melalui lisan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallamُ. Dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka genapkanlah (bulan Sya'ban menjadi 30 hari)." (Muttafaqun 'alaih. HR. Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080).Hadits di atas menunjukkan bahwa penentuan awal Ramadhan hanya dengan dua cara, tidak ada cara ketiga.
Cara pertama adalah dengan rukyatul hilal. Cara kedua adalah menggenapkan bulan Sya'ban menjadi 30 hari.Jika Ada yang Menyanggah ...1- Kenapa kalau dalam jadwal shalat memakai hisab boleh, kalau dalam penentuan awal Ramadhan tidak boleh?Jawaban simpelnya, jadwal waktu shalat itu memakai petunjuk posisi matahari dan
itu setiap hari bisa berulang sehingga mudah diperkirakan. Sedangkan penentuan awal
Ramadhan dengan bulan. Keduanya jelas berbeda, ditambah pula berbeda dalil.Jawaban
tambahan, yang dibebankan oleh syariat kepada kita dalam penentuan waktu-waktu shalat adalah menyesuaikan dengan posisi aktual (waqi’ al haal), misalnya maghrib adalah ketika matahari sudah tenggelam, dst. Perhitungan hisab dalam hal ini
memberi informasi posisi aktual (waqi’ al haal) bahwa pada jam sekian matahari dalam posisi sudah tenggelam, atau semacamnya. Berbeda dengan masalah menentukan awal bulan, yang dibebankan syari’at kepada kita adalah melihat hilalnya bukan mengetahui posisi aktual (waqi’ al haal) -nya. Ini sama sekali berbeda. (Sumber:Menyoal Metode Hisab)2- Sekarang teknologi sudah maju, kenapa masih menggunakan rukyatul hilal?Simpel pula jawabannya, karena kita manut pada dalil. Dalil perintahkan untuk rukyatul hilal, maka kita melakukannya. Dan pula di masa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sudah ada metode hisab tetapi beliau tidak menggunakannya. Urusan mesti angkat-angkat alat ketika rukyat, yah itu karena tuntutan dalam beramal. Sebagaimana kita perlu susah payah berjalan menuju masjid untuk shalat jama'ah.Seharusnya sikap seorang muslim adalah patuh pada dalil, jangan cuma karena alasan berat dan susah sehingga enggan menggunakan cara yang Rasul -shallallahu 'alaihi wa sallam- tempuh. Allah Ta'alaberfirman, "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah
sesat, sesat yang nyata." (QS. Al Ahzab: 36).Ijma' (Sepakat Ulama): Metode Hisab Bukan Jadi Tolak UkurKami pun simpulkan bahwa metode hisab jika jadi rujukan utama seperti yang dipilih sebagian ormas, maka ini keliru dan telah menyelisihi ijma' atau kesepakatan para ulama. “Para ulama sepakat bahwa metode hisab
bukanlah jadi tolak ukur dalam penentuan awal bulan. Kesepatan para ulama inilah yang jadi argumen untuk meruntuhkan pendapat mereka yang masih membela metode hisab.” (Fathul Bari, 4: 127)Begitu pula Ibnu Bazizah berkata, “Madzhab (yang berpegang pada hisab, pen) adalah madzhab batil. Sungguh syariat Islam telah melarang seseorang untuk terjun dalam ilmu nujum. Karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (zhon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) bahkan bukan sangkaan kuat. Seandainya suatu perkara dikaitkan dengan ilmu hisab, sungguh akan mempersempit karena tidak ada yang menguasai ilmu ini kecuali sedikit”. (Idem)Rasul sendiri yang katakan bahwa beliau tidak mengenal hisab. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu 'Umar, ﺎَّﻧِﺇ ٌﺔَّﻣُﺃ ٌﺔَّﻴِّﻣُﺃ ، َﻻ ُﺐُﺘْﻜَﻧ َﻻَﻭ
ُﺐِﺴْﺤَﻧ ُﺮْﻬَّﺸﻟﺍ, ﺍَﺬَﻜَﻫ ﺍَﺬَﻜَﻫَﻭ ”Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal
kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula mengenal hisab. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30)." (HR. Bukhari no. 1913 dan Muslim no. 1080).Beda halnya jika metode tersebut hanya sebagai cara untuk sekedar memperkirakan dan tetap menjadikan rukyatul hilal sebagai penentuan awal dan akhir Ramadhan. 

Menentukan Awal Ramadhan dengan Ru’yah Bukan dengan Hisab

Perlu diketahui bersama bahwasanya mengenal hilal adalah bukan dengan cara hisab. Namun yang lebih tepat dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengenal hilal adalah dengan ru’yah (yaitu melihat bulan langsung dengan mata telanjang). Karena Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi contoh dalam kita beragama telah bersabda,

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا

Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula mengenal hisab. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).”

Ibnu Hajar Asy Syafi’i rahimahullah menerangkan,

“Tidaklah mereka –yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengenal hisab kecuali hanya sedikit dan itu tidak teranggap. Karenanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum puasa dan ibadah lainnya dengan ru’yah untuk menghilangkan kesulitan dalam menggunakan ilmu astronomi pada orang-orang di masa itu. Seterusnya hukum puasa pun selalu dikaitkan dengan ru’yah walaupun orang-orang setelah generasi terbaik membuat hal baru (baca: bid’ah) dalam masalah ini. Jika kita melihat konteks yang dibicarakan dalam hadits, akan nampak jelas bahwa hukum sama sekali tidak dikaitkan dengan hisab. Bahkan hal ini semakin terang dengan penjelasan dalam hadits,

فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ

“Jika mendung (sehingga kalian tidak bisa melihat hilal), maka sempurnakanlah bilangan  bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan, “Tanyakanlah pada ahli hisab”. Hikmah kenapa mesti menggenapkan 30 hari adalah supaya tidak ada peselisihihan di tengah-tengah mereka.

Sebagian kelompok memang ada yang sering merujuk pada ahli astronom dalam berpatokan pada ilmu hisab yaitu kaum Rofidhoh. Sebagian ahli fiqh pun ada yang satu pendapat dengan mereka. Namun Al Baaji mengatakan, “Cukup kesepakatan (ijma’) ulama  salaf (yang berpedoman dengan ru’yah, bukan hisab, -pen) sebagai sanggahan untuk meruntuhkan pendapat mereka.” Ibnu Bazizah pun mengatakan, “Madzhab (yang berpegang pada hisab, pen) adalah madzhab batil. Sunguh syariat Islam elah melarang seseorang untuk terjun dalam ilmu nujum. Karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) bahkan bukan sangkaan kuat. Seandainya suatu perkara dikaitkan dengan ilmu hisab, sungguh akan mempersempit karena tidak ada yang menguasai ilmu ini  kecuali sedikit



Apabila pada Malam Ketigapuluh Sya’ban Tidak Terlihat Hilal

Apabila pada malam ketigapuluh Sya’ban belum juga terlihat hilal karena terhalangi oleh awan atau mendung maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari.

Salah seorang ulama Syafi’i, Al Mawardi rahimahullah mengatakan, “Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk berpuasa ketika diketahui telah masuk awal bulan. Untuk mengetahuinya adalah dengan salah satu dari dua perkara. Boleh jadi dengan ru’yah hilal untuk menunjukkan masuknya awal Ramadhan. Atau boleh jadi pula dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Karena Allah Ta’ala menetapkan bulan tidak pernah lebih dari 30 hari dan tidak pernah kurang dari 29 hari. Jika terjadi keragu-raguan pada hari keduapuluh sembilan, maka berpeganglah dengan yang yakin yaitu hari ketigapuluh dan buang jauh-jauh keraguan yang ada.”


Puasa dan Hari Raya Bersama Pemimpin dan Mayoritas Manusia

Jika salah seorang atau satu organisasi melihat hilal Ramadhan atau Syawal, lalu persaksiannya ditolak oleh penguasa apakah yang melihat tersebut mesti puasa atau mesti berbuka? Dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di antara para ulama.

Salah satu pendapat menyatakan bahwa ia mesti puasa jika ia melihat hilal Ramadhan dan ia mesti berbuka jika ia melihat hilal Syawal. Namun keduanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi agar tidak menyelisi mayoritas masyarakat di negeri tersebut. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, salah satu pendapat dari Imam Ahmad dan pendapat Ibnu Hazm. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)

Pendapat lainnya menyatakan bahwa hendaklah orang yang melihat hilal sendiri hendaklah berpuasa berdasarkan hilal yang ia lihat. Namun hendaklah ia berhari raya bersama masyarakat yang ada di negerinya. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.

Sedangkan pendapat yang terakhir menyatakan bahwa orang tersebut tidak boleh mengamalkan hasil ru’yah, ia harus berpuasa dan berhari raya bersama masyarakat yang ada di negerinya.Dalil dari pendapat terakhir ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.” Ketika menyebutkan hadits tersebut, Abu Isa At Tirmidzi rahimahullah menyatakan, ”Sebagian ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan, “Puasa dan hari raya hendaknya dilakukan bersama jama’ah (yaitu pemerintah kaum muslimin) dan mayoritas manusia (masyarakat)”. ”

Pendapat terakhir ini menjadi pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga merupakan salah satu pendapat dari Imam Ahmad. Pendapat inilah pendapat yang kami nilai lebih kuat. Penjelasannya sebagai berikut.

Perlu diketahui bahwa hilal bukanlah sekedar fenomena alam yang terlihat di langit. Namun hilal adalah sesuatu yang telah masyhur di tengah-tengah manusia, artinya semua orang mengetahuinya.

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Hilal asalnya bermakna kata zuhur (artinya: nampak) dan rof’ush shout (meninggikan suara). [Artinya yang namanya hilal adalah sesuatu yang tersebar dan diketahui oleh orang banyak, -pen]. Jika hilal hanyalah nampak di  langit saja dan tidak nampak di muka bumi (artinya, diketahui orang banyak, -pen), maka semacam itu tidak dikenai hukum sama sekali baik secara lahir maupun batin. Akar kata dari hilal sendiri adalah dari perbuatan manusia. Tidak disebut hilal kecuali jika ditampakkan. Sehingga jika hanya satu atau dua orang saja yang mengetahuinya lantas mereka tidak mengabarkan pada yang lainnya, maka tidak disebut hilal. Karenanya, tidak ada hukum ketika itu sampai orang yang melihat hilal tersebut memberitahukan pada orang banyak. Berita keduanya yang menyebar luas yang nantinya disebut hilal karena hilal berarti mengeraskan suara dengan menyebarkan berita kepada orang banyak.”

Beliau rahimahullah mengatakan pula, “Allah menjadikan hilal sebagai waktu bagi manusia dan sebagai tanda waktu berhaji. Ini tentu saja jika hilal tersebut benar-benar nampak bagi kebanyakan manusia dan masuknya bulan begitu jelas. Jika tidak demikian, maka bukanlah disebut hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Dasar dari permasalahan ini, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengaitkan hukum syar’i -semacam puasa, Idul Fithri dan Idul Adha- dengan istilah hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Allah Ta’ala berfirman,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji” (QS. Al Baqarah: 189)

Ibnu Taimiyah kembali menjelaskan, “Syarat dikatakan hilal dan syahr (masuknya awal bulan) apabila benar-benar diketahui oleh kebanyakan orang dan nampak bagi mereka. Misalnya saja ada 10 orang yang melihat hilal namun persaksiannya tertolak. Lalu hilal ini tidak nampak bagi kebanyakan orang di negeri tersebut karena mereka tidak memperhatikannya, maka 10 orang tadi sama dengan kaum muslimin lainnya. Sebagaimana 10 orang tadi tidak melakukan wukuf, tidak melakukan penyembelihan (Idul Adha), dan tidak shalat ‘ied kecuali bersama kaum muslimin lainnya, maka begitu pula dengan puasa, mereka pun seharusnya bersama kaum muslimin lainnya. Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ

Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha

Imam Ahmad –dalam salah satu pendapatnya- berkata,

يَصُومُ مَعَ الْإِمَامِ وَجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ فِي الصَّحْوِ وَالْغَيْمِ

“Berpuasalah bersama pemimpin kalian dan bersama kaum muslimin lainnya (di negeri kalian) baik ketika melihat hilal dalam keadaan cuaca cerah atau mendung.”

Imam Ahmad juga mengatakan,

يَدُ اللَّهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ

“Allah akan senantiasa bersama para jama’ah kaum muslimin”.


Jika Satu Negeri Melihat Hilal, Apakah Berlaku Bagi Negeri Lainnya?

Misalnya ketika di Saudi sudah melihat hilal, apakah mesti di Indonesia juga berlaku hilal yang sama? Ataukah masing-masing negeri berlaku hilal sendiri-sendiri?

Berikut kami nukilkan keterangan dari para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia).

Pertanyaan: “Bagaimana menurut Islam mengenai perbedaan kaum muslimin dalam berhari raya Idul Fithri dan Idul Adha? Mengingat jika salah dalam menentukan hal ini, kita akan berpuasa pada hari yang terlarang (yaitu hari ‘ied) atau akan berhari raya pada hari yang sebenarnya wajib untuk berpuasa. Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan mengenai masalah yang krusial ini sehingga bisa jadi hujah (argumen) bagi kami di hadapan Allah. Apabila dalam penentuan hari raya atau puasa ini terdapat perselisihan, ini bisa terjadi ada perbedaan dua sampai tiga hari. Jika agama Islam ini ingin menyelesaikan perselisihan ini, apa jalan keluar yang tepat untuk menyatukan hari raya kaum muslimin?

Jawab: Para ulama telah sepakat bahwa terbitnya hilal di setiap tempat itu bisa berbeda-beda dan hal ini terbukti secara inderawi dan logika. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat mengenai teranggapnya atau tidak hilal di tempat lain dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan. Dalam masalah ini ada dua pendapat. Pendapat pertama adalah yang menyatakan teranggapnya hilal di tempat lain dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan walaupun berbeda matholi’ (wilayah terbitnya hilal). Pendapat kedua adalah yang menyatakan tidak teranggapnya hilal di tempat lain. Masing-masing dari dua kubu ini memiliki dalil dari Al Kitab, As Sunnah dan qiyas. Terkadang dalil yang digunakan oleh kedua kubu adalah dalil yang sama. Sebagaimana mereka sama-sama berdalil dengan firman Allah,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di negeri tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)

Begitu juga firman Allah,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ

Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” (QS. Al Baqarah: 189)

Mereka juga sama-sama berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ

Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Perbedaan pendapat menjadi dua kubu semacam ini sebenarnya terjadi karena adanya perbedaan dalam memahami dalil. Kesimpulannya bahwa dalam masalah ini masih ada ruang untuk berijtihad. Oleh karena itu, para pakar fikih terus berselisih pendapat dalam masalah ini dari dahulu hingga saat ini.

Tidak mengapa jika penduduk suatu negeri yang tidak melihat hilal pada malam ke-30, mereka mengambil ru’yah negeri yang berbeda matholi’ (beda wilayah terbitnya hilal). Namun, jika di negeri tersebut terjadi perselisihan pendapat, maka hendaklah dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya. Namun, jika penguasa di negeri tersebut bukanlah muslim, hendaklah dia mengambil pendapat majelis ulama di negeri tersebut. Hal ini semua dilakukan dalam rangka menyatukan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan dan melaksanakan shalat ‘ied.

Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Semoga sajian kali ini bermanfaat.

Tuesday 18 June 2013

Sahabat

Sahabat...
Ga ada satu orangpun di dunia ini yang ga punya sahabat. Setiap orang pasti punya sahabat, setiap orang pasti punya yang namanya teman. entah itu teman sekolah, teman kuliah, teman kerja, teman di lingkungan tempat tinggal, ataupun teman pribadi tempat seseorang mencurahkan isi hatinya.
Hidup ini akan terasa sepi tanpa adanya seorang sahabat. Sahabat adalah salah satu orang yang dapat memberikan warna warni hidup. Sahabat adalah tempat seseorang untuk berbagi dalam keadaan senang maupun susah. Setiap orang butuh sahabat.
Sahabat akan selalu hadir di tiap kehidupan kita, ia dapat menghibur kita dikala kita sedih, membuat kita tertawa, setia menemani dimasa-masa suka maupun duka, dan selalu sabar dalam menyertai kehidupan kita.
 Kita dapat menemukan banyak karakter untuk dijadikan sahabat, tetapi dalam menemukan sahabat tidak semudah yang kita bayangkan, tidak cukup dengan perkenalan yang singkat atau memerlukan waktu yang lama dalam kita menilai seseorang untuk menjadi sahabat, karena sahabat akan hadir dengan sendirinya tanpa kita sadari dan dalam kurun waktu yang tidak dapat kita tentukan.
Tidak ada seorang manusia pun yang tidak membutuhkan sahabat, semua pasti mengiginkan tuk memiliki sahabat, dimana dengan adanya sahabat kita dapat mencurahkan seluruh isi hati kita, bahkan sampai sesuatu hal yang sangat rahasia pun dapat diungkapkan pada sahabat kita, melebihi siapapun di dunia ini. Dan sahabat akan menyimpannya erat2 dalam hatinya bahkan akan rela untuk mengorbankan dirinya demi menjaga rahasia tersebut.
Sahabat adalah seseorang yang mau menunjukkan di mana letak kesalahanku, bukan seseorang yang membicarakanku di belakang dan membiarkanku tetap dengan kesalahan yang ku buat tanpa tahu apa yang salah..
Sahabat adalah seseorang yang tidak menumbuhkan perasaan negatif dalam hati dan pikiranku..
Sahabat adalah seseorang yang menegurku manakala aku membicarakan orang lain..
Sahabat adalah seseorang yang tidak membiarkanku menghabiskan waktu dengan sia-sia untuk sekedar mengobrol tanpa makna..
Sahabat adalah yang seseorang tidak pernah berbicara kasar dan mempengaruhiku untuk ikut bicara kasar.. Sahabat adalah seseorang yang ingin aku menjadi lebih baik..
Kuberikan rasa hormat setinggi – tingginya untukmu sahabat………
Terima kasih tuk sahabatku………..
terima kasih…..
































Monday 17 June 2013

Riwayat Hidup Ali bin Abi Thalib R.A

Kelahiran & Kehidupan Keluarga

Kelahiran

Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600(perkiraan). Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap Nabi Muhammad masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.
Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW. Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Mekkah.
Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar,
Nabi SAW memanggil dengan nama Ali yang berarti Tinggi (derajat disisi Allah)

Kehidupan Awal

Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.
Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi SAW karena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad.
Dalam biografi asing (Barat), hubungan Ali kepada Nabi Muhammad SAW dilukiskan seperti Yohanes Pembaptis (Nabi Yahya) kepada Yesus (Nabi Isa). Dalam riwayat-riwayat Syi'ah dan sebagian riwayat Sunni, hubungan tersebut dilukiskan seperti Nabi Harun kepada Nabi Musa.

Masa Remaja

Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik ini Ali berusia sekitar 10 tahun.
Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi hal ini berkelanjutan hingga beliau menjadi menantu Nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah 'Ihsan') atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Nabi khusus kepada beliau tapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.
Karena bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing.
Didikan langsung dari Nabi kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior) atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.

Kehidupan di Mekkah sampai Hijrah ke Madinah

Ali bersedia tidur di kamar Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah Nabi. Beliau tidur menampakkan kesan Nabi yang tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh Nabi yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar.

Kehidupan di Madinah

Perkawinan

Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali dinikahkan Nabi dengan putri kesayangannya Fatimah az-Zahra. Nabi menimbang Ali yang paling tepat dalam banyak hal seperti Nasab keluarga yang se-rumpun (Bani Hasyim), yang paling dulu mempercayai ke-nabi-an Muhammad (setelah Khadijah), yang selalu belajar di bawah Nabi dan banyak hal lain.

Julukan

Ketika Muhammad mencari Ali menantunya, ternyata Ali sedang tidur. Bagian atas pakaiannya tersingkap dan debu mengotori punggungnya. Melihat itu Muhammad pun lalu duduk dan membersihkan punggung Ali sambil berkata, "Duduklah wahai Abu Turab, duduklah." Turab yang berarti debu atau tanah dalam bahasa Arab. Julukan tersebut adalah julukan yang paling disukai oleh Ali.

Pertempuran yang diikuti pada masa Nabi saw

Perang Badar
Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di tangan Ali masih dalam perselisihan, tapi semua sepakat beliau menjadi bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.
Perang Khandaq
Perang Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud . Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian.
Perang Khaibar
Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi saw bersabda:
"Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya".
Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, temyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian.
Peperangan lainnya
Hampir semua peperangan beliau ikuti kecuali perang Tabuk karena mewakili nabi Muhammad untuk menjaga kota Madinah.

Setelah Nabi wafat

Sampai disini hampir semua pihak sepakat tentang riwayat Ali bin Abi Thalib, perbedaan pendapat mulai tampak ketika Nabi Muhammad wafat. Syi'ah berpendapat sudah ada wasiat (berdasar riwayat Ghadir Khum) bahwa Ali harus menjadi Khalifah bila Nabi SAW wafat. Tetapi Sunni tidak sependapat, sehingga pada saat Ali dan Fatimah masih berada dalam suasana duka orang-orang Quraisy bersepakat untuk membaiat Abu Bakar.
Menurut riwayat dari Al-Ya'qubi dalam kitab Tarikh-nya Jilid II Menyebutkan suatu peristiwa sebagai berikut. Dalam perjalan pulang ke Madinah seusai menunaikan ibadah haji ( Hijjatul-Wada'),malam hari Rasulullah saw bersama rombongan tiba di suatu tempat dekat Jifrah yang dikenal denagan nama "GHADIR KHUM." Hari itu adalah hari ke-18 bulan Dzulhijah. Ia keluar dari kemahnya kemudia berkhutbah di depan jamaah sambil memegang tangan Imam Ali Bin Abi Tholib r.a.Dalam khutbahnya itu antara lain beliau berkata : "Barang siapa menanggap aku ini pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.Ya Allah, pimpinlah orang yang mengakui kepemimpinannya dan musuhilah orang yang memusuhinya"
Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah tentu tidak disetujui keluarga Nabi Ahlul Baitdan pengikutnya. Beberapa riwayat berbeda pendapat waktu pem-bai'at-an Ali bin Abi Thalib terhadap Abu Bakar sebagai Khalifah pengganti Rasulullah. Ada yang meriwayatkan setelah Nabi dimakamkan, ada yang beberapa hari setelah itu, riwayat yang terbanyak adalah Ali mem-bai'at Abu Bakar setelah Fatimah meninggal, yaitu enam bulan setelah meninggalnya Rasulullah demi mencegah perpecahan dalam ummat
Ada yang menyatakan bahwa Ali belum pantas untuk menyandang jabatan Khalifah karena umurnya yang masih muda, ada pula yang menyatakan bahwa kekhalifahan dan kenabian sebaiknya tidak berada di tangan Bani Hasyim.

Sebagai khalifah

Peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah memaksa beliau, sehingga akhirnya Ali menerima bai'at mereka. Menjadikan Ali satu-satunya Khalifah yang dibai'at secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda.
Sebagai Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Pertempuran Basra. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul mu'minin Aisyah binti Abu Bakar, janda Rasulullah. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali.
Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Pertempuran Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut.
Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya. Ia meninggal di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdrrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami salat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.

Keturunan

Ali memiliki delapan istri setelah meninggalnya Fatimah az-Zahra[1] dan memiliki keseluruhan 36 orang anak. Dua anak laki-lakinya yang terkenal, lahir dari anak Nabi Muhammad, Fatimah, adalah Hasan dan Husain.
Keturunan Ali melalui Fatimah dikenal dengan Syarif atau Sayyid, yang merupakan gelar kehormatan dalam Bahasa Arab, Syarif berarti bangsawan dan Sayyed berarti tuan. Sebagai keturunan langsung dari Muhammad, mereka dihormati oleh Sunni dan Syi'ah.
Menurut riwayat, Ali bin Abi Thalib memiliki 36 orang anak yang terdiri dari 18 anak laki-laki dan 18 anak perempuan. Sampai saat ini keturunan itu masih tersebar, dan dikenal dengan Alawiyin atau Alawiyah. Sampai saat ini keturunan Ali bin Abi Thalib kerap digelari Sayyid.
Anak laki-laki Anak perempuan
Hasan al-Mujtaba Zainab al-Kubra
Husain asy-Syahid Zainab al-Sughra
Muhammad bin al-Hanafiah Ummu Kaltsum
Abbas al-Akbar (dijuluki Abu Fadl) Ramlah al-Kubra
Abdullah al-Akbar Ramlah al-Sughra
Ja'far al-Akbar Nafisah
Utsman al-Akbar Ruqaiyah al-Sughra
Muhammad al-Ashghar Ruqaiyah al-Kubra
Abdullah al-Ashghar Maimunah
Abdullah (yang dijuluki Abu Ali) Zainab al-Sughra
‘Aun Ummu Hani
Yahya Fathimah al-Sughra
Muhammad al-Ausath Umamah
Utsman al-Ashghar Khadijah al-Sughra
Abbas al-Ashghar Ummu al-Hasan
Ja'far al-Ashghar Ummu Salamah
Umar al-Ashghar Hamamah
Umar al-Akbar Ummu Kiram