Cara menentukan awal dan akhir Ramadhan sudah digariskan oleh Islam melalui lisan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallamُ. Dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka genapkanlah (bulan Sya'ban menjadi 30 hari)." (Muttafaqun 'alaih. HR. Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080).Hadits di atas menunjukkan bahwa penentuan awal Ramadhan hanya dengan dua cara, tidak ada cara ketiga.
Cara pertama adalah dengan rukyatul hilal. Cara kedua adalah menggenapkan bulan Sya'ban menjadi 30 hari.Jika Ada yang Menyanggah ...1- Kenapa kalau dalam jadwal shalat memakai hisab boleh, kalau dalam penentuan awal Ramadhan tidak boleh?Jawaban simpelnya, jadwal waktu shalat itu memakai petunjuk posisi matahari dan
itu setiap hari bisa berulang sehingga mudah diperkirakan. Sedangkan penentuan awal
Ramadhan dengan bulan. Keduanya jelas berbeda, ditambah pula berbeda dalil.Jawaban
tambahan, yang dibebankan oleh syariat kepada kita dalam penentuan waktu-waktu shalat adalah menyesuaikan dengan posisi aktual (waqi’ al haal), misalnya maghrib adalah ketika matahari sudah tenggelam, dst. Perhitungan hisab dalam hal ini
memberi informasi posisi aktual (waqi’ al haal) bahwa pada jam sekian matahari dalam posisi sudah tenggelam, atau semacamnya. Berbeda dengan masalah menentukan awal bulan, yang dibebankan syari’at kepada kita adalah melihat hilalnya bukan mengetahui posisi aktual (waqi’ al haal) -nya. Ini sama sekali berbeda. (Sumber:Menyoal Metode Hisab)2- Sekarang teknologi sudah maju, kenapa masih menggunakan rukyatul hilal?Simpel pula jawabannya, karena kita manut pada dalil. Dalil perintahkan untuk rukyatul hilal, maka kita melakukannya. Dan pula di masa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sudah ada metode hisab tetapi beliau tidak menggunakannya. Urusan mesti angkat-angkat alat ketika rukyat, yah itu karena tuntutan dalam beramal. Sebagaimana kita perlu susah payah berjalan menuju masjid untuk shalat jama'ah.Seharusnya sikap seorang muslim adalah patuh pada dalil, jangan cuma karena alasan berat dan susah sehingga enggan menggunakan cara yang Rasul -shallallahu 'alaihi wa sallam- tempuh. Allah Ta'alaberfirman, "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah
sesat, sesat yang nyata." (QS. Al Ahzab: 36).Ijma' (Sepakat Ulama): Metode Hisab Bukan Jadi Tolak UkurKami pun simpulkan bahwa metode hisab jika jadi rujukan utama seperti yang dipilih sebagian ormas, maka ini keliru dan telah menyelisihi ijma' atau kesepakatan para ulama. “Para ulama sepakat bahwa metode hisab
bukanlah jadi tolak ukur dalam penentuan awal bulan. Kesepatan para ulama inilah yang jadi argumen untuk meruntuhkan pendapat mereka yang masih membela metode hisab.” (Fathul Bari, 4: 127)Begitu pula Ibnu Bazizah berkata, “Madzhab (yang berpegang pada hisab, pen) adalah madzhab batil. Sungguh syariat Islam telah melarang seseorang untuk terjun dalam ilmu nujum. Karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (zhon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) bahkan bukan sangkaan kuat. Seandainya suatu perkara dikaitkan dengan ilmu hisab, sungguh akan mempersempit karena tidak ada yang menguasai ilmu ini kecuali sedikit”. (Idem)Rasul sendiri yang katakan bahwa beliau tidak mengenal hisab. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu 'Umar, ﺎَّﻧِﺇ ٌﺔَّﻣُﺃ ٌﺔَّﻴِّﻣُﺃ ، َﻻ ُﺐُﺘْﻜَﻧ َﻻَﻭ
ُﺐِﺴْﺤَﻧ ُﺮْﻬَّﺸﻟﺍ, ﺍَﺬَﻜَﻫ ﺍَﺬَﻜَﻫَﻭ ”Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal
kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula mengenal hisab. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30)." (HR. Bukhari no. 1913 dan Muslim no. 1080).Beda halnya jika metode tersebut hanya sebagai cara untuk sekedar memperkirakan dan tetap menjadikan rukyatul hilal sebagai penentuan awal dan akhir Ramadhan.
Menentukan Awal Ramadhan dengan Ru’yah Bukan
dengan Hisab
Perlu diketahui bersama bahwasanya mengenal hilal adalah bukan dengan cara
hisab. Namun yang lebih tepat dan sesuai dengan petunjuk Nabi
shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam mengenal hilal adalah dengan ru’yah (yaitu melihat
bulan langsung dengan mata telanjang). Karena Nabi
kita shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang menjadi contoh dalam kita beragama telah bersabda,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ
نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
”
Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah
(tulis-menulis)
dan tidak pula mengenal hisab.
Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini
(beliau berisyarat dengan bilangan 30).”
Ibnu Hajar Asy Syafi’i
rahimahullah menerangkan,
“Tidaklah mereka –yang hidup di masa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam-
mengenal hisab kecuali hanya sedikit dan itu tidak teranggap. Karenanya, beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum puasa dan
ibadah lainnya dengan ru’yah untuk
menghilangkan kesulitan dalam menggunakan ilmu astronomi pada orang-orang di
masa itu. Seterusnya hukum puasa pun selalu dikaitkan dengan ru’yah walaupun
orang-orang setelah generasi terbaik membuat hal baru (baca: bid’ah) dalam
masalah ini. Jika kita melihat konteks yang dibicarakan dalam hadits, akan
nampak jelas bahwa hukum sama sekali tidak dikaitkan dengan hisab. Bahkan hal
ini semakin terang dengan penjelasan dalam hadits,
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا
الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ
“Jika mendung (sehingga kalian tidak bisa melihat hilal), maka
sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” Di sini Nabi
shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak mengatakan, “Tanyakanlah pada ahli hisab”. Hikmah
kenapa mesti menggenapkan 30 hari adalah supaya tidak ada peselisihihan di
tengah-tengah mereka.
Sebagian kelompok memang ada yang sering merujuk pada ahli astronom dalam
berpatokan pada ilmu hisab yaitu kaum Rofidhoh. Sebagian ahli fiqh pun ada yang
satu pendapat dengan mereka. Namun Al Baaji mengatakan, “
Cukup kesepakatan
(ijma’) ulama salaf (yang berpedoman dengan ru’yah, bukan hisab, -pen) sebagai
sanggahan untuk meruntuhkan pendapat mereka.” Ibnu Bazizah pun mengatakan,
“
Madzhab (yang berpegang pada hisab, pen) adalah madzhab batil. Sunguh
syariat Islam elah melarang seseorang untuk terjun dalam ilmu nujum. Karena
ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i)
bahkan bukan sangkaan kuat. Seandainya suatu perkara dikaitkan dengan ilmu
hisab, sungguh akan mempersempit karena tidak ada yang menguasai ilmu ini kecuali sedikit”
Apabila pada Malam Ketigapuluh Sya’ban Tidak
Terlihat Hilal
Apabila pada malam ketigapuluh Sya’ban belum juga terlihat hilal karena terhalangi
oleh awan atau mendung maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZTe--OeDpXVgMrevfPaXmsdlcBV6cjIUddBIVfNJHkWVNAdXh5w26jr5YtVe6uCtB4LHKnME-gtQmAgmQNmhiJ9_NxakAfE9V8QEPguKp4kacqTAWQhJYGoll2dTCbqkxDM8-dnVLKbk/s320/hilal-ilustrasi-_110731205550-371.jpg)
Salah seorang ulama Syafi’i, Al Mawardi
rahimahullah mengatakan,
“Allah
Ta’ala memerintahkan kita untuk berpuasa ketika diketahui telah
masuk awal bulan. Untuk mengetahuinya adalah dengan salah satu dari dua
perkara. Boleh jadi dengan ru’yah hilal untuk menunjukkan masuknya awal
Ramadhan. Atau boleh jadi pula dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30
hari. Karena Allah Ta’ala menetapkan bulan tidak pernah lebih dari 30 hari dan
tidak pernah kurang dari 29 hari. Jika terjadi keragu-raguan pada hari
keduapuluh sembilan, maka berpeganglah dengan yang yakin yaitu hari ketigapuluh
dan buang jauh-jauh keraguan yang ada.”
Puasa dan Hari Raya Bersama Pemimpin dan
Mayoritas Manusia
Jika salah seorang atau satu organisasi melihat hilal Ramadhan atau Syawal,
lalu persaksiannya ditolak oleh penguasa apakah yang melihat tersebut mesti
puasa atau mesti berbuka? Dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di antara
para ulama.
Salah satu pendapat menyatakan bahwa ia mesti puasa jika ia melihat
hilal
Ramadhan dan ia mesti berbuka jika ia melihat hilal Syawal. Namun keduanya
dilakukan secara sembunyi-sembunyi
agar tidak menyelisi mayoritas masyarakat di negeri tersebut. Inilah pendapat
yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, salah satu pendapat dari Imam Ahmad dan
pendapat Ibnu Hazm. Dalilnya adalah firman Allah
Ta’ala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ
”
Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.”
(QS. Al Baqarah: 185)
Pendapat lainnya menyatakan bahwa hendaklah orang yang melihat hilal sendiri
hendaklah berpuasa berdasarkan hilal yang ia lihat. Namun hendaklah ia berhari
raya bersama masyarakat yang ada di negerinya. Inilah pendapat Imam Abu
Hanifah, Imam Malik dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.
Sedangkan pendapat yang terakhir menyatakan bahwa orang tersebut tidak boleh
mengamalkan hasil ru’yah, ia harus berpuasa dan berhari raya bersama masyarakat
yang ada di negerinya.Dalil dari pendapat terakhir ini adalah sabda Nabi
shallallahu
‘alaihi wa sallam,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ
وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“
Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri
ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan
tatkala mayoritas kalian beridul adha.”
Ketika menyebutkan hadits tersebut, Abu Isa At Tirmidzi
rahimahullah menyatakan,
”Sebagian ulama menafsirkan
hadits
ini dengan mengatakan, “Puasa dan hari raya hendaknya dilakukan bersama jama’ah
(yaitu pemerintah kaum muslimin) dan mayoritas manusia (masyarakat)”. ”
Pendapat terakhir ini menjadi pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga
merupakan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.
Pendapat inilah pendapat yang kami nilai lebih kuat. Penjelasannya sebagai
berikut.
Perlu diketahui bahwa hilal bukanlah sekedar fenomena alam yang terlihat di
langit. Namun hilal adalah sesuatu yang telah masyhur di tengah-tengah manusia,
artinya semua orang mengetahuinya.
Ibnu Taimiyah
rahimahullah menjelaskan, “Hilal asalnya bermakna
kata
zuhur (artinya: nampak) dan
rof’ush shout (meninggikan
suara). [Artinya yang namanya hilal adalah sesuatu yang tersebar dan diketahui
oleh orang banyak, -pen]. Jika hilal hanyalah nampak di langit saja dan
tidak nampak di muka bumi (artinya, diketahui orang banyak, -pen), maka semacam
itu tidak dikenai hukum sama sekali baik secara lahir maupun batin. Akar kata
dari hilal sendiri adalah dari perbuatan manusia. Tidak disebut hilal kecuali
jika ditampakkan. Sehingga jika hanya satu atau dua orang saja yang
mengetahuinya lantas mereka tidak mengabarkan pada yang lainnya, maka tidak
disebut hilal. Karenanya, tidak ada hukum ketika itu sampai orang yang melihat
hilal tersebut memberitahukan pada orang banyak. Berita keduanya yang menyebar
luas yang nantinya disebut hilal karena hilal berarti mengeraskan suara dengan
menyebarkan berita kepada orang banyak.”
Beliau
rahimahullah mengatakan pula, “Allah menjadikan hilal
sebagai waktu bagi manusia dan sebagai tanda waktu berhaji. Ini tentu saja jika
hilal tersebut benar-benar nampak bagi kebanyakan manusia dan masuknya bulan
begitu jelas. Jika tidak demikian, maka bukanlah disebut
hilal dan
syahr
(masuknya awal bulan). Dasar dari permasalahan ini, bahwa Allah
subhanahu
wa ta’ala mengaitkan hukum syar’i -semacam puasa, Idul Fithri dan Idul
Adha- dengan istilah hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Allah
Ta’ala
berfirman,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ
هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“
Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah:
“Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi
ibadat) haji” (QS. Al Baqarah: 189)
Ibnu Taimiyah kembali menjelaskan, “Syarat dikatakan hilal dan syahr
(masuknya awal bulan) apabila benar-benar diketahui oleh kebanyakan orang dan
nampak bagi mereka. Misalnya saja ada 10 orang yang melihat hilal namun persaksiannya
tertolak. Lalu hilal ini tidak nampak bagi kebanyakan orang di negeri tersebut
karena mereka tidak memperhatikannya, maka 10 orang tadi sama dengan kaum
muslimin lainnya. Sebagaimana 10 orang tadi tidak melakukan wukuf, tidak
melakukan penyembelihan (Idul Adha), dan tidak shalat ‘ied kecuali bersama kaum
muslimin lainnya, maka begitu pula dengan puasa, mereka pun seharusnya bersama
kaum muslimin lainnya. Karenanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ
يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
“
Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri
ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan
tatkala mayoritas kalian beridul adha”
Imam Ahmad –dalam salah satu pendapatnya- berkata,
يَصُومُ مَعَ الْإِمَامِ وَجَمَاعَةِ
الْمُسْلِمِينَ فِي الصَّحْوِ وَالْغَيْمِ
“Berpuasalah bersama pemimpin kalian dan bersama kaum muslimin lainnya (di
negeri kalian) baik ketika melihat hilal dalam keadaan cuaca cerah atau
mendung.”
Imam Ahmad juga mengatakan,
يَدُ اللَّهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ
“Allah akan senantiasa bersama para jama’ah kaum muslimin”.
Jika Satu Negeri Melihat Hilal, Apakah
Berlaku Bagi Negeri Lainnya?
Misalnya ketika di Saudi sudah melihat hilal, apakah mesti di Indonesia juga
berlaku hilal yang sama? Ataukah masing-masing negeri berlaku hilal
sendiri-sendiri?
Berikut kami nukilkan keterangan dari para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad
Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Riset Ilmiah dan
Fatwa Kerajaan Saudi Arabia).
Pertanyaan: “Bagaimana menurut Islam mengenai perbedaan
kaum muslimin dalam berhari raya Idul Fithri dan Idul Adha? Mengingat jika
salah dalam menentukan hal ini, kita akan berpuasa pada hari yang terlarang
(yaitu hari ‘ied) atau akan berhari raya pada hari yang sebenarnya wajib untuk
berpuasa. Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan mengenai masalah yang
krusial ini sehingga bisa jadi hujah (argumen) bagi kami di hadapan Allah.
Apabila dalam penentuan hari raya atau
puasa
ini terdapat perselisihan, ini bisa terjadi ada perbedaan dua sampai tiga hari.
Jika agama Islam ini ingin menyelesaikan perselisihan ini, apa jalan keluar
yang tepat untuk menyatukan hari raya kaum muslimin?
Jawab: Para ulama telah sepakat bahwa terbitnya hilal di
setiap tempat itu bisa berbeda-beda dan hal ini terbukti secara inderawi dan
logika. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat mengenai teranggapnya atau
tidak hilal di tempat lain dalam menentukan awal dan akhir
Ramadhan. Dalam masalah ini ada dua
pendapat. Pendapat pertama adalah yang menyatakan teranggapnya hilal di tempat
lain dalam penentuan awal dan akhir
Ramadhan walaupun berbeda
matholi’ (wilayah terbitnya hilal). Pendapat kedua adalah yang menyatakan tidak
teranggapnya hilal di tempat lain. Masing-masing dari dua kubu ini memiliki
dalil dari Al Kitab, As
Sunnah dan
qiyas. Terkadang dalil yang digunakan oleh kedua kubu adalah dalil yang sama.
Sebagaimana mereka sama-sama berdalil dengan firman Allah,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ
“
Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di negeri
tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS.
Al Baqarah: 185)
Begitu juga firman Allah,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ
هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
“
Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah:
“Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat)
haji.” (QS. Al Baqarah: 189)
Mereka juga sama-sama berdalil dengan
hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا
لِرُؤْيَتِهِ
“
Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena
melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Perbedaan pendapat menjadi dua kubu semacam ini sebenarnya terjadi karena
adanya perbedaan dalam memahami dalil. Kesimpulannya bahwa dalam masalah ini
masih ada ruang untuk berijtihad. Oleh karena itu, para pakar fikih terus
berselisih pendapat dalam masalah ini dari dahulu hingga saat ini.
Tidak mengapa jika penduduk suatu negeri yang tidak melihat hilal pada malam
ke-30, mereka mengambil ru’yah negeri yang berbeda matholi’ (beda wilayah
terbitnya hilal). Namun, jika di negeri tersebut terjadi perselisihan pendapat,
maka hendaklah dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri tersebut.
Jika penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada
dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya. Namun, jika
penguasa di negeri tersebut bukanlah muslim, hendaklah dia mengambil pendapat
majelis ulama di negeri tersebut. Hal ini semua dilakukan dalam rangka menyatukan
kaum muslimin dalam berpuasa
Ramadhan
dan melaksanakan
shalat ‘ied.
Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad,
keluarga
dan sahabatnya.
Semoga sajian kali ini bermanfaat.